ESAI
“PERANG JAMAL&PERANG SHIFFIN”
Dibuat oleh:
Nafi’ul
Lian Ibnu Salam (131135140003180031)
MAN INSAN CENDEKIA PASURUAN
Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur, Jl. Bandara Juanda No.
26, Semalang, Semambung, Gedangan
KABUPATEN SIDOARJO
TAHUN 2018/2019
PERANG
JAMAL
Latar belakang terjadinya perang
jamal terjadi Setelah Ali bin Abu Thalib dibai’at menjadi khalifah, Thalhah dan
Azzubeir meminta izin kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun menginzinkan
mereka. Mereka kemudian bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah disana. Saat itu Aisyah sudah mendengar kabar bahwa
Utsman terbunuh. Maka, mereka semua berkumpul di Makkah, hendak menuntut
balas atas terbunuhnya Utsman, Ya’la bin Munyah dari Bashrah dan Abdullah bin
Amir dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua berkumpul di Makkah juga untuk
menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Mereka lalu keluar dari Makkah diikuti
oleh orang-orang di belakang mereka, pergi menuju ke Bashrah hendak mencari
pembunuh khalifah Utsman. Semua itu mereka lakukan karena mereka memandang
bahwa mereka telah lalai dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali berada di
Madinah, sementara Utsman bin Hunaif adalah gubernur Bashrah yang diangakat
oleh Ali bin Abu Thalib.
Sesampainya mereka di Bashrah,
Ali menugaskan Utsman bin Hunaif untuk menanyakan tujuan mereka datang ke
Bashrah. Mereka menjawab: “Kami menginginkan pembunuh Utsman.” Utsman bin
Hunaif berkata: “Tunggulah hingga Ali datang. Ia melarang untuk masuk ke
Bashrah. Ketika itulah, Jabalah yang keluar menemui mereka. Jabalah ini adalah salah seorang yang
terlibat dalam pembunuhan Utsman. Ia menyerang mereka dengan jumlah
pasukan 700 personil. Namun mereka dapat mengalahkannya dan membunuh personil
yang bersamanya. Sementara banyak juga penduduk Bashrah yang bergabung dengan
pasukan Thalhah, Azzubair, dan Aisyah ini.
Ali kemudian keluar dari Madinah,
bergerak menuju Kufah. Ini terjadi setelah ia mendengar kabar bahwa telah
terjadi peperangan antara Utsman bin Hunaif, gubernur tunjukan Ali untuk
Bashrah, dengan Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang bersama
mereka. Ali keluar setelah menyiapkan pasukan yang berjumlah 10.000 orang untuk
menyerang Thalhah dan Azzubeir, pada saat Ali bin Abu Thalib yang keluar
mendatangi mereka (Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah), bukan mereka yang keluar
menuju Ali. Mereka juga tidak bermaksud
memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh sebagian kelompok dan orang-orang
yang terpengaruh oleh hisapan jempol terkait peperangan ini. Jika mereka
ingin memberontak terhadap Ali, tentunya mereka akan langsung pergi menuju ke
Madinah, bukan ke Bashrah.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang
ikut bersama mereka tidak pernah membatalkan dan menolak kekhalifahan Ali. Mereka
juga tidak mencela, tidak menyebutkan kejelekan, tidak membai’at orang selain
Ali, dan tidak pergi menuju Bashrah untuk menyerang Ali. Karena, ketika itu Ali
memang tidak berada di Bashrah.
Ali mengirimkan Almiqdad bin
Alaswad dan Alqa’qa bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak
Almiqdad dan Alqa’qa sepakat dengan pihak Thalhah dan Azzubeir untuk tidak
berperang. Masing-masing pihak menjelaskan sudut pandang mereka. Thalhah dan
Azzubeir berpendapat bahwa tidak boleh membiarkan pembunuh Utsman begitu saja,
sedangkan pihak Ali berpendapat bahwa menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk
saat sekarang bukan hal paling mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai
keadaan stabil. Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman.
Adapun yang mereka perselisihkan adalah waktu untuk merealisasikan hal
tersebut.
Setelah kesepakatan itu, dua
pasukan pun bisa tidur dengan tenang, sedangkan
para pengikut Abdullah bin Saba – mereka para pembunuh Utsman terjaga dan melewati malam yang buruk, karena
akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling berperang. Ketika itu para
pengikut Abdullah bin Saba sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan
tersebut dibatalkan. Menjelang waktu
subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka
menyerang pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa orang diantara
pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri. Pasukan Thalhah
mengira bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang
pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan
Azzubeir telah berkhianat. Serang-menyerang
antara kedua pasukan ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang
pun berkecamuk dengan hebatnya.
Para pembesar pasukan dari kedua
belah pihak telah berupaya menghentikan peperangan, namun mereka tidak
berhasil, Ali juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya.
Aisyah kemudian mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk
menghentikan perang, namun para
pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya.
Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada
seorangpun yang dapat menghentikannya.
Perang jamal terjadi pada tahun
36 H atau pada awal kekhilafahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah
zhuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu. Dalam peperangan
ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal (berunta)
berjumlah 5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammmad bin Ali
bin Abu Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin
Azzubeir. Pada perang ini banyak sekali kaum muslimin yang tewas terbunuh.
Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah agar menyelamatkan pedang-pedang
kita darinya. Kita memohon kepada Allah agar meridhai dan memberi ampunan
kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu dalam perang ini).
Thalhah, Azzubeir, dan Muhammad
bin Thalhah tewas terbunuh. Mengenai Azzubeir, ia sebenarnya tidak ikut serta
dalam perang ini. Begitu juga dengan Thalhah. Thalhah terbunuh karena terkena
anak panah nyasar. Namun, yang masyhur, orang yang membidiknya adalah Marwan
bin Alhakam. Bidikan Marwan mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya.
Ketika itu ia sedang berusaha melerai para prajurit yang berperang.
Seusai perang, banyak prajurit
yang terbunuh. Khususnya, mereka yang menjaga unta yang dikendarai oleh Aisyah,
karena Aisyah merupakan simbol bagi mereka, bahkan mereka mati-matian dalam
melindunginya. Karena itu, dengan tumbangnya unta Aisyah, perang pun berhenti
dan selesai. Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu Thalib, walaupun sebenarnya
tidak ada pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum Muslimin memperoleh
kerugian dalam perang ini.
Pasca Perang Jamal, Ali berjalan
di antara para korban yang tewas, lalu menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah.
Setelah mendudukannya dan mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu
Muhammad, alangkah berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas
tanah di bawah bintang-bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya
berkata: “Aduhai, seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa
ini.
Setelah itu, Ali melihat mayat
Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari Thalhah), lalu ia menangis lagi. Muhammad
bin Thalhah adalah orang yang dijuluki dengan Assajjad (orang yang banyak
sujud) karena dia banyak beribadah.
Seluruh Sahabat yang mengikuti perang ini, tanpa
terkecuali, menyesali apa yang telah terjadi.
Ibnu Jurmuz menemui Ali sambil
membawa pedang milik Azzubeir, lalu berkata: “Aku telah membunuh Azzubeir, aku
telah membunuh Azzubeir.” Mendengar hal itu, Ali berkata: “Pedang ini telah
begitu lama menghilangkan duka dan kesusahan Rasulullah. Berikanlah berita
gembira kepada orang yang telah membunuh Ibnu Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa
ia akan masuk Neraka.” Setelah itu Ali tidak mengizinkan Ibnu Jurmuz untuk
menemuinya.
Pasca Perang Jamal, Ali menemui
Ummul Mukminin Aisyah, kemudian mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh
kemuliaan dan kehormatan. Sebab, dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali
agar memuliakan dan menghormati Aisyah. Diriwayatkan dari Ali; dia berkata
bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara
kau dan Aisyah.” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan
menjadi orang yang paling celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya,
tapi jika itu terjadi, maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”
Maka Ali pun melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah
kepadanya.
PERANG SHIFFIN
Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung
Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat tepian
sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun
37H/658M.
Setelah kematian Utsman, pihak
keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan yang menajdi gubernur di Syam sejak khalifah Umar bin Khathab,
mengajukan tuntutan atas kematian Utsman kepada Ali agar mengadili dan
menghukum para pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil pada waktu itu,
nampaknya Ali tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah
bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah
Ali di Madinah. Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam,
untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau
meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan sebelum
tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali
tidak sanggup menegakkan hukum sesuai syari’at, juga menuduh Ali dibalik
pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan tidak diambil tindakan oleh Ali
terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang
merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah
mengadakan kampanye besar-besaran di wilayahnya menentang Ali, sehingga
mendapat dukungan dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah
kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan
pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali. Walaupun menurut ahli sejarah,
motivasi perlawanan Mu’awiyah itu sebenarnya tidak murni menuntut balas atas
kematian Utsman, tetapi ada ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah selesai perang Jamal,
Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, dengan dukungan pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu
pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakar. Usaha-usaha
untuk menghindari perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan
membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada
pendiriannya untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya,
agar Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir
memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri.
Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan
terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan mengangkat
Al-Qur’an.
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan
berat hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya
siasat dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini pihak Ali diwakili
oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah
mencatat antara keduanya terdapat keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan
Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang
baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu
mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari
dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian mengumumkan
bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan sebagai Khalifah
yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak menjadi khalifah sekarang
adalah Mu’awiyah.
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan
menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan
Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau
tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya
naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan
jabatannya sebagai khalifah. Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa
tindakan itu tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari
pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk
gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat
dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap
telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak berhukum pada hukum
Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Kaum khawarij semula hanya
merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi kemudian berubah menjadi
sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam (sekte).