Mari Divisi Cinta Lingkungan,kita sama sama melakukan hal seperti ini
Kegiatan Peduli Lingkungan di Sekolah dan Pendidikan yang Lebih Membumi
Semangat dan inspirasi kadang menunggu momen tertentu
untuk muncul. Seringkali ia datang secara kebetulan. Kita tak pernah
menyangka sebelumnya, bahwa hal yang tak kita rencanakan akan cukup
berpengaruh mengarahkan jalur hidup kita berikutnya. Demikianlah.
Sepulang mengikuti acara
Environmental Teachers’ International Convention (ETIC)
akhir Maret 2008 di Kaliandra, Pasuruan, tiba di rumah saya mencoba
mencari salah satu arsip artikel saya yang ditulis sekitar 13 tahun
sebelumnya saat saya duduk di bangku sekolah menengah atas. Tulisan yang
akhirnya saya temukan baik dalam bentuk tulisan tangan maupun versi
yang sudah dicetak dengan ketikan komputer itu berjudul
“Manusia dan Krisis Lingkungan: Perspektif Ekologi Islami”.
Saya mencari tulisan itu karena saya ingin mencoba merekonstruksi
pikiran macam apa yang ada di kepala saya waktu itu. Pulang dari ETIC
2008 yang digelar sekitar sepekan di pedalaman Pasuruan, kepala saya
dipenuhi dengan pertanyaan dan pikiran tentang nasib dan masa depan
bumi. Jika saya dulu memang pernah menulis sebuah esai sepanjang 10 ribu
karakter (1.600 kata) tentang isu lingkungan, mengapa tulisan itu
sepertinya hanya berhenti di sana, sebagai tulisan (atau gagasan) saja,
dan seperti tak memiliki cerita lanjutan? [caption id=""
align="alignnone" width="400" caption="Foto bersama peserta
Environmental Teachers"][/caption]
ETIC 2008, forum para penggiat pendidikan lingkungan, buat saya terasa
sebagai titik mula untuk terjun lebih dalam ke isu lingkungan. Membaca
tulisan saya tahun 1995 itu, saya jadi tahu bahwa saat itu saya mungkin
berpikir terlalu normatif. Tentu saya sadar bahwa saat itu saya dan
lingkungan belajar saya punya banyak keterbatasan. Kemudian, di ETIC
2008 mata saya terbuka untuk sejumlah fakta dan data aktual terkait isu
lingkungan. Fakta-fakta itu menggugah dan kemudian terasa sangat
berkaitan dengan aspek-aspek normatif yang sempat saya tulis dahulu itu.
Meramu Tiga Matra Sampai di
situ, saya berkesimpulan bahwa wawasan normatif saja sangat tidak cukup
(pikiran tentang hal ini kemudian terus berkembang hingga saya masuk ke
diskusi yang lebih mendalam soal berbagai pemikiran di bidang etika
lingkungan). Kita butuh fakta-fakta inspiratif yang sederhana dan dekat
dengan keseharian kita untuk bisa mematri, membumikan, dan menjangkarkan
sebuah dimensi normatif tertentu. Selanjutnya, dua matra itu, aspek
normatif dan fakta inspiratif, tak bisa berdiri sendiri. Keduanya butuh
wadah yang menggerakkan dialektika matra normatif dan faktual ke dalam
wujud gerakan atau aksi nyata di lapangan. Pulang kembali ke sekolah
dari ETIC 2008, saya pun mencoba meramu ketiga matra tersebut dalam
aktivitas pendidikan lingkungan di sekolah tempat saya mengajar,
SMA 3 Annuqayah,
Guluk-Guluk, Sumenep. Isu lingkungan bagi komunitas tempat saya
mengajar sebenarnya tidaklah terlalu asing. Sekitar dua tahun sebelumnya
di situ sudah terbentuk komunitas pecinta lingkungan di sekolah dengan
nama Duta Lingkungan yang dirintis oleh salah seorang guru SMA 3
Annuqayah, Muhammad-Affan. Lebih jauh, sebenarnya komunitas Pondok
Pesantren Annuqayah, yang merupakan komunitas besar kami, sudah lama
sekali bersentuhan dan bergiat di isu lingkungan. Pada tahun 1981
Annuqayah mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk
kategori penyelamat lingkungan. Keterlibatan Annuqayah di isu lingkungan
dipelopori oleh Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah
(BPM-PPA) yang wilayah garapannya lebih banyak ke masyarakat di sekitar
pesantren. Sebagai guru, saya pun mencoba fokus menekuni isu lingkungan
di komunitas sekolah tempat saya mengajar. Ramuan ketiga matra yang saya
simpulkan itu kemudian pertama kali mewujud dalam bentuk
aksi memulung sampah plastik
pada peringatan Hari Bumi 2008. Aksi ini sebenarnya dilakukan tanpa
persiapan yang matang tapi ternyata melahirkan tindak lanjut yang begitu
panjang. Aksi ini disepakati setelah ada salah seorang murid di sekolah
saya yang mencoba membuat tas pensil dari sampah plastik. Katanya, ia
tergerak oleh salah satu kisah saya sepulang dari ETIC 2008. Memang, di
kelas saya sempat bercerita tentang seorang ibu dari Jakarta yang sempat
hadir dan berbagi di ETIC 2008. Ibu itu membuat tas dan kerajinan dari
sampah plastik. Nah, si murid saya itu, dengan tanpa mesin jahit,
ternyata berhasil membuat tas pensil sederhana dari sampah plastik.
[caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Memperingati Hari
Bumi 2008, murid-murid SMA 3 Annuqayah dan MTs 3 Annuqayah melakukan
aksi memulung sampah plastik di beberapa TPA di lingkungan Pesantren
Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep."]
[/caption] Teman-temannya di sekolah pun
tergerak dan tertarik untuk menseriusi hal ini, sehingga akhirnya
diputuskanlah untuk menggelar aksi memulung di Hari Bumi 2008. Ada 52
murid yang mengikuti aksi ini yang direkrut secara sukarela melalui
pengumuman yang ditempel di majalah dinding sekolah. Di pengumuman itu,
saya mencantumkan fakta dan informasi seputar bahaya plastik.
Pemulung Sampah Gaul
Tindak lanjut aksi ini kemudian mewujud lebih solid dalam bentuk
komunitas yang oleh murid-murid dinamakan Pemulung Sampah Gaul (PSG).
Setelah aksi memulung itu, komunitas ini tidak hanya sekadar mengolah
sampah-sampah plastik yang didapat dari beberapa tempat pembuangan akhir
(TPA) di lingkungan Annuqayah yang menampung sekitar enam ribu santri
dan siswa. Mereka juga berupaya mendorong tersebarnya pengetahuan,
informasi, dan sikap peduli terhadap lingkungan yang bersih dan sehat,
terutama menyangkut sampah plastik. Meski hanya baru bergerak di tingkat
lokal, yakni di lingkungan sekolah kami sendiri, kreativitas anak-anak
PSG ini mendapat perhatian dan apresiasi dari berbagai pihak, sehingga
beritanya sempat dimuat di
Radar Madura (13-14 Juni 2008) dan disiarkan di stasiun televisi
Madura Channel (10
Juni 2008). Untuk lebih memperluas wilayah sosialisasi, PSG hadir di
salah satu stand dalam ajang Haflatul Imtihan Madrasah Annuqayah 2008,
yakni kegiatan perayaan akhir tahun pelajaran yang diisi dengan berbagai
kegiatan lomba dan semacamnya. Pada kegiatan ini, PSG hadir memamerkan
hasil kerajinan dari sampah, melakukan sosialisasi bahaya sampah
plastik, memunguti sampah plastik di lokasi pameran, dan presentasi
proses kretif mengolah sampah menjadi karya kerajinan. Pada acara yang
digelar mulai 3-6 Juli 2008 tersebut, dari buku tamu tercatat ada lebih
dari 800 pengunjung yang ikut meramaikan stand PSG. Sementara
stand-stand yang lain berusaha memanjakan hasrat konsumtif santri dan
siswa, stand PSG justru memasarkan kesadaran untuk lebih peduli dengan
alam. Semenjak itu, aktivitas PSG semakin populer sehingga sempat
diundang ke sekolah dan komunitas lain di lingkungan Sumenep. Pada
tanggal 30 Juli 2008 PSG melakukan
presentasi di MTs Ainul Falah
Bakeyong, Guluk-Guluk, Sumenep, yang mendapatkan respons sangat meriah.
Tanggal 21 November 2008 utusan PSG presentasi di forum Fatayat NU
Pragaan Sumenep yang kemudian menarik perhatian dan tindak lanjut cukup
serius. 13 Februari 2009, anak PSG juga presentasi di komunitas ibu-ibu
di Guluk-Guluk. [caption id="" align="alignnone" width="400"
caption="Pemulung Sampah Gaul (PSG) presentasi di MTs Ainul Falah
Bakeyong, Guluk-Guluk, Sumenep (30 Juli 2008)"]
[/caption] Sehari-hari, komunitas PSG di
lingkungan sekolah berupaya menyebarkan informasi dan sikap peduli
terhadap bahaya sampah plastik. Memang, idealnya langkah yang paling
diutamakan adalah mengurangi (
reduce)
sampah. Namun disadari bahwa itu mungkin masih terlalu berat untuk
masyarakat yang masih relatif buta informasi dan kurang peka atas
persoalan sampah dan hal yang terkait dengannya. Karena itulah, target
utama aktivitas PSG adalah penyebaran informasi. Dengan kata lain, aspek
faktual yang sederhana dan inspiratif yang diharapkan dapat
menggerakkan perubahan—sekecil apa pun. Produk PSG berupa tas dan
kerajinan yang lain hanyalah media. Selain untuk menarik perhatian, juga
untuk mengingatkan dan menguatkan aspek informatif dan inspiratif
terkait sampah plastik. Memang, beberapa orang kadang tampak salah paham
memandang aktivitas PSG—melihatnya sebagai aktivitas keterampilan,
padahal inti utamanya adalah mengajak orang untuk lebih peka dan peduli
lingkungan. Tersebarnya informasi tentang bahaya sampah plastik
diharapkan dapat mengubah perilaku seseorang. Misalnya, belajar untuk
memilah sampah plastik, kertas, dan organik. Karena di sekolah kami
sebelumnya tak ada upaya pemilahan sampah, maka PSG kemudian membagikan
kardus bekas khusus untuk tempat sampah plastik di kelas-kelas. Kami
juga cukup senang saat kemudian ada dua toko di dekat sekolah kami yang
mulai memisah sampah-sampah plastik mereka dan kemudian diserahkan
kepada PSG untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar kerajinan dari sampah
plastik. Semua kegiatan PSG ketika itu terutama hanya bermodalkan
semangat. Sekolah kami terbilang miskin dan tak punya banyak anggaran
untuk mendukung semua kegiatan murid. Tapi murid-murid kami tradisikan
untuk berbuat maksimal dengan apa yang kami miliki. Untuk kegiatan PSG,
misalnya, ketika itu kami hanya bisa memanfaatkan mesin jahit pinjaman.
Alat-alat pendukung untuk mengolah sampah plastik itu pun kami dapat
secara swadaya. PSG juga mendapatkan dana dari penjualan hasil
kerajinan, baik tas dan semacamnya, yang dibuat oleh murid-murid. Namun
akhirnya ada pihak yang membantu kami menghadapi keterbatasan ini. Di
bulan Januari 2009,
Said Abdullah Institute
di Sumenep memberikan bantuan dana untuk komunitas PSG. Sebagian dana
itu kemudian digunakan untuk membeli dua mesin jahit serta peralatan
lainnya dan merehab sebuah bangunan gudang di pojok sekolah untuk
menjadi bengkel dan markas PSG. Selebihnya, dana kami simpan.
SCC dan Dua Adik PSG Di akhir tahun 2008, saya mendapat informasi tentang sebuah ajang lomba yang digelar oleh
British Council Indonesia bernama
School Climate Challenge (SCC) Competition.
Lomba ini bertujuan untuk mendorong murid dan guru sekolah menengah
terlibat dalam proyek peduli lingkungan. Setelah berembuk dengan
beberapa guru dan elemen penggiat lingkungan lainnya di sekolah, di
akhir Februari 2009 kami mendaftarkan tiga tim untuk ajang lomba tingkat
nasional ini. Ketiga tim itu masing-masing adalah
Tim Pupuk Organik,
Tim Gula Merah, dan
Tim Sampah Plastik.
Dua tim yang pertama masing-masing terdiri dari dua guru pendamping dan
3 siswa, sedang Tim Sampah Plastik, karena relatif sudah eksis dan
berkegiatan, hanya menempatkan saya sendiri sebagai guru pendamping
ditambah dengan empat orang murid. Saya sendiri juga didaulat sebagai
koordinator guru pendamping untuk ketiga proyek tersebut. Sebagai bentuk
langkah kaderisasi, masing-masing tim juga didukung oleh sejumlah murid
yang juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan program kerja proyek yang
dilaksanakan sepanjang Maret hingga Mei 2009. Ketiga proyek ini
menggunakan kas dana PSG dan sama sekali tak mengambil dana sekolah.
Saya sangat senang karena setidaknya ada empat guru lainnya yang mulai
intens masuk bergiat ke isu pendidikan lingkungan dalam dua proyek SCC
yang lain tersebut. Lebih dari itu, isu yang ditekuni mulai meluas, tak
hanya sampah plastik, tapi juga pupuk organik dan gula merah atau pangan
lokal. [caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Pak
Mahmudi bersama murid-murid SMA 3 Annuqayah yang tergabung dalam Tim
Pupuk Organik SCC sedang melakukan percobaan membuat pupuk organik dari
limbah pertanian. Tim Pupuk Organik ini berhasil meraih peringkat kelima
dalam ajang lomba yang diselenggarakan oleh British Council Indonesia
itu."]
[/caption] Lebih tiga bulan intens mengerjakan
dan mendampingi proyek SCC ini, saya berusaha mensinergikan tiga matra
yang ada dalam benak saya itu: aspek normatif, sisi faktual, dan gerakan
yang terorganisasi. Pada aspek normatif, saya mencoba memberi sentuhan
pendekatan filsafat moral dalam semua proyek dan kegiatan tersebut.
Latar belakang pendidikan sarjana saya sebagai lulusan dari jurusan
filsafat menjadi modal tersendiri. Apalagi saya memang meminati bidang
etika (filsafat moral) dan mencoba merintis pengenalan wacana filsafat
moral di lingkungan Pesantren Annuqayah pada umumnya. Pada sesi
penguatan kapasitas, saya mencoba mengajak murid-murid untuk berpikir
sedikit radikal menghadapi persoalan lingkungan. Memang, bidang etika
lingkungan buat saya terbilang baru, karena di Indonesia sendiri bidang
ini terbilang belum cukup populer. Pada sisi faktual, saya mengajak
murid-murid untuk menghimpun data dan fakta terkait dengan masing-masing
proyeknya, terutama dari internet, untuk dibuat semacam kliping
digital. Kliping ini saya harapkan akan menjadi bahan penguatan
kapasitas para anggota komunitas penggiat lingkungan lainnya di sekolah.
Sekali lagi, sisi faktual ini dicari yang sederhana dan inspiratif. Tak
hanya diajak menekuri buku atau laman-laman di internet, murid-murid
juga diajak untuk belajar peka membaca fakta di sekitar mereka. Beberapa
kali murid diajak untuk riset lapangan, misalnya ke komunitas petani
gula merah, dan sebagainya. Melalui proyek SCC, pada level gerakan
murid-murid mulai diajak untuk berjejaring dengan komunitas dan sekolah
yang lain di wilayah Sumenep, seperti Madrasah Aliyah Nasy’atul
Muta’allimin Gapura, Madrasah Aliyah Sumber Payung Ganding, dan
sebagainya. Beberapa sekolah tampak antusias dengan kegiatan kami dan
ada pula yang kemudian ikut membentuk komunitas peduli lingkungan di
sekolahnya. [caption id="" align="alignnone" width="400"
caption="Sharing pengalaman bersama Pemulung Sampah Gaul SMA 3 Annuqayah
di Madrasah Aliyah Nasy"]
[/caption] Gerakan penyebaran informasi dan
kesadaran yang dilakukan oleh ketiga proyek SCC ini juga sempat mendapat
dukungan dari sebuah radio lokal, Ganding FM, saat kami diberi
kesempatan gratis untuk on-air dan berbagi pengalaman terkait proyek
kami. Selain itu, stasiun televisi
Madura Channel juga
mengundang saya untuk tampil secara langsung dalam dialog memperingati
Hari Bumi 2009. Saat menutup rangkaian ketiga proyek SCC tepat di
penghujung Mei 2009 dan ketiga tim proyek SCC mempresentasikan kegiatan
mereka selama tiga bulan di hadapan para undangan yang terdiri dari
siswa, masyarakat, dan instansi terkait, pelan-pelan saya dapat
menangkap betapa murid-murid—juga guru—yang bergiat di proyek ini tidak
saja dilatih untuk mengembangkan potensi kreativitas, kepemimpinan, jiwa
wirausaha sosial, dialektika aksi-refleksi, dan menyebar kepedulian
terhadap lingkungan.
Pendidikan yang Membumi
Dalam konteks pendidikan lingkungan, proyek SCC yang kemudian
berkembang sebagai tiga bidang garapan komunitas lingkungan di SMA 3
Annuqayah juga adalah ikhtiar untuk membumikan proses pendidikan dalam
kehidupan aktual sehari-hari di sekitar kita. Ada satu kutipan sangat
menarik yang saya dapatkan dari Dewi Lestari, atau yang populer disebut
Dee, penulis dan penyanyi yang juga memiliki minat yang besar terhadap
isu lingkungan. Di
blog
yang menjadi salah satu favorit saya itu, Dee mengutarakan bahwa kita
tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda
yang kita konsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang
digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan
berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok,
komputer, pakaian, dan sebagainya. Pelajaran Biologi, misalnya, mungkin
sebagian relatif gagal karena tidak membuat murid bertanya mengapa
petani cukup sering mengalami kekurangan pupuk, atau mengapa sumber air
bersih di sekitar mereka sudah tak lagi jernih. [caption id=""
align="alignnone" width="400" caption="Presentasi perjalanan 3 proyek
SCC di halaman SMA 3 Annuqayah, 31 Mei 2009. Tampak sajian berbagai
aneka makanan lokal yang disiapkan oleh Tim Gula Merah SCC."]
[/caption] Menguatkan pendidikan lingkungan di
sekolah dari sudut pandang ini sebenarnya juga berarti membawa
kurikulum sekolah ke arah yang lebih kontekstual , membumi, dan mengakar
dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu berasal. Di
tengah iklim pendidikan formal yang terkesan
textbook dan
kaku, sungguh kegiatan peduli lingkungan dengan impian akan jaringannya
yang kuat akan tampak sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk terus
ditekuni. Intinya, bergiat di aktivitas pendidikan lingkungan akan
memiliki banyak nilai lebih yang juga akan sangat relevan dengan
peningkatan mutu pendidikan serta pembentukan generasi muda yang lebih
berkarakter. Hal yang paling memuaskan buat saya setelah mengerjakan dan
mendampingi 3 proyek SCC itu adalah lahirnya kader-kader baru serta
bidang baru di komunitas peduli lingkungan di sekolah kami. Saya senang
bahwa paling tidak ada guru yang juga tertarik untuk mendampingi murid
di kegiatan lingkungan di sekolah. Salah satu di antaranya adalah guru
Biologi, Pak Mahmudi, yang sebenarnya tak memiliki latar belakang
pendidikan formal di bidang itu, tapi karena cukup bersemangat dan
belajar secara otodidak ia dipercaya memegang materi itu di sekolah.
Yang lebih menggembirakan, proyek yang didampinginya, yakni proyek pupuk
organik berbahan dasar limbah pertanian, berhasil masuk sebagai
peringkat kelima dalam ajang lomba SCC yang diikuti oleh hampir 200
proyek dari berbagai sekolah di Indonesia. Prestasi ini tentu menjadi
kebanggaan tersendiri tidak hanya untuk dia, tapi juga buat saya dan
seluruh civitas kependidikan di sekolah kami. [caption id=""
align="alignnone" width="400" caption="Sebagian contoh hasil kerajinan
dari sampah plastik yang dibuat oleh murid-murid SMA 3 Annuqayah."]
[/caption] Karena kebetulan di lingkungan
Pondok Pesantren Annuqayah saya juga mendampingi beberapa komunitas
kepenulisan dan aktif mendorong terciptanya iklim jurnalisme warga, saya
juga mendorong anak-anak yang terlibat di kegiatan proyek SCC dan PSG
untuk mendokumentasikan kegiatan mereka dalam bentuk tulisan. Di samping
untuk melatih menuturkan pengalaman dan gagasan melalui media tulisan,
menuliskan catatan pengalaman dalam kegiatan lingkungan ini bagi saya
tidak saja berarti mereka membagikan pengalaman mereka yang cukup kaya
itu. Saya harap dengan hal ini mereka juga bisa berbagi kepedulian
dengan orang dan komunitas lain yang lebih luas. Hasilnya, puluhan
tulisan sudah dihasilkan oleh murid-murid yang tergabung di komunitas
peduli lingkungan ini. Semuanya dipublikasikan di
blog sekolah.
Kebetulan saya sendiri yang menggawangi blog tersebut—kebetulan juga
saya di sekolah mengajar pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Mengembangkan Kerangka Etis
Setelah SCC rampung di bulan Juni 2009, saya sebenarnya ingin sekali
mengusahakan agar tulisan-tulisan para murid itu dapat tersaji lebih
utuh dan lebih baik dalam bentuk semacam buku berisi kisah sukses
bergiat di aktivitas peduli lingkungan di sekolah. Sayangnya saya belum
bisa merealisasikan gagasan ini. Untuk sementara waktu, saya tak bisa
secara langsung bersama murid-murid dan rekan-rekan guru SMA 3
Annuqayah, karena di awal September 2009 saya melanjutkan studi saya ke
Eropa. Alhamdulillah, di awal Mei 2009 saya mendapat kabar gembira bahwa
aplikasi saya untuk program
Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics
diterima. Saya mendapat kesempatan untuk mendalami bidang etika terapan
di dua kampus di Eropa, yakni Utrecht University, Belanda, dan NTNU
Trondheim, Norwegia, selama dua semester. Pilihan saya untuk melanjutkan
studi sebenarnya didorong oleh minat dan keterlibatan saya pada isu
lingkungan, sehingga kemudian tertarik untuk secara khusus mendalaminya.
Karena saya lihat di Indonesia masih belum ada kampus yang secara
khusus mengarah ke sana, saya mencoba mengajukan aplikasi ke program
yang disponsori oleh Uni Eropa tersebut, dan alhamdulillah diterima.
Sebelum berangkat ke Eropa, pertengahan Juni 2009 saya sempat diundang
British Council Indonesia yang bekerja sama dengan PMPTK Depdiknas untuk
mengikuti
lokakarya penyusunan modul pembelajaran
yang berusaha mengintegrasikan berbagai disiplin pelajaran di sekolah
dengan perspektif pendidikan lingkungan. Acara yang diadakan di Malang
pada 15-19 Juni ini bagi saya memberi banyak inspirasi untuk
pengembangan isu pendidikan lingkungan di sekolah tempat saya mengajar,
khususnya mengenai langkah teknis untuk memasukkan isu pendidikan
lingkungan ke dalam kurikulum secara lebih tertata. Namun saya tidak
bisa menindaklanjuti agenda spesifik ini karena saya harus menyiapkan
banyak hal sebelum keberangkatan saya ke Eropa. Selama studi di Eropa,
saya tetap menyempatkan diri berkomunikasi dengan murid-murid yang
bergiat di komunitas peduli lingkungan di sekolah.
Kaderisasi dan konsolidasi
menjadi salah satu target penting, karena dalam banyak kasus suatu
komunitas kemudian macet karena masalah kader—poin ini sebenarnya juga
menjadi salah satu bagian yang sedang saya pikirkan secara lebih
mendalam. Dalam beberapa kesempatan, saya bahkan sempat ikut rapat
online dengan mereka menggunakan video conference Skype. Saya senang
sekali mendapat kabar bahwa mereka masih terus bergiat, termasuk
memenuhi undangan
sekolah atau
komunitas lain
di Sumenep untuk berbagi pengalaman dan presentasi. Di bulan Oktober
2009, misalnya, mereka sempat hadir mewakili Kecamatan Guluk-Guluk dalam
Pameran Pembangunan di Kabupaten Sumenep, dan tampil dengan memamerkan
aktivitas dan visi hijau mereka. Kabar terakhir, mereka tengah
menyiapkan diri untuk presentasi di forum "24th Conference of the
Caretakers of the Environment International" yang akan diselenggarakan
di Malang awal Juli nanti. Saat ini saya tengah menyusun tugas akhir
(tesis) untuk program saya. Saya menulis tentang kerangka etis
pendidikan lingkungan untuk konteks Indonesia. Penelusuran sementara
saya menyimpulkan bahwa persoalan pendidikan lingkungan di Indonesia
memiliki nuansa yang begitu luas. Konteks Indonesia sebagai negara
berkembang membuat pendidikan lingkungan memiliki kaitan yang sangat
erat dengan isu pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Pada titik
ini, pendidikan lingkungan menurut saya kemudian juga mesti menyentuh
isu kemiskinan, keadilan, dan semacamnya, yang dalam konteks Indonesia
memiliki kaitan erat dengan isu lingkungan. Saya senang karena selama
menempuh studi di Eropa saya bisa melakukan semacam refleksi baik atas
kegiatan peduli lingkungan di sekolah tempat saya mengajar pada
khususnya dan Indonesia pada umumnya serta refleksi untuk lebih
membumikan dan menyediakan kerangka normatif— dalam hal ini berbagai
pemikiran dalam bidang etika lingkungan atau etika pada umumnya—yang
kokoh untuk gerakan dan proyek pendidikan lingkungan. Kerangka etis yang
bersifat aksiologis maupun strategis ini menurut saya akan bermakna
penting jika kita melihat bahwa pendidikan lingkungan pada dasarnya
adalah bagian dari pendidikan moral—pendidikan moral untuk menumbuhkan
rasa tanggung jawab untuk merawat kehidupan, alam semesta, dan generasi
masa depan. Tentu saja saya sepenuhnya sadar bahwa kerangka etis ini
terutama terkait dengan salah satu matra, yakni aspek normatif.
Tantangannya, saya tetap harus bisa meramu dan mengintegrasikannya
dengan kedua aspek lainnya, yakni sisi faktual dan aspek gerakan, dan
juga menerjemahkannya dalam bentuk yang lebih konkret dan aplikatif.
Untuk tantangan ini, sungguh saya sudah merasa tak sabar
siap kami laksanakan
BalasHapus